Kisah Nyata Buat Para Orang Tua dan Guru
Oleh : Iwan Sumantri
Sudah lama nih blog guru ataya tidak memposting artikel, maklum banyak kegiatan sekolah, mulai dari akriditasi sekolah, persiapan UN, Gebyar S3 Ceria Berbudi, perpisahan dan persiapan PAT yang banyak menyita waktu dan energi, sehingga berdampak pada keinginan untuk menulis sedikit terhambat. Namun kali ini blog guru ataya mencoba sesuatu tulisan, yang mudah-mudahan memberikan kontribusi buat para orang tua dan guru di sela-sela maraknya kepercayaan pada guru semakin "kurang" dan selalu jadi pembicaraan.
Berikut kisah nya !
- AKU KORBAN KEKERASAN GURU -
Perkenalkan, aku Indah.
Lulusan terbaik Universitas Negeri Jakarta.
Kapan aku duduk di bangku SD?
Pada masa teknologi masih Radio dengan antena, dan Televisi masih hitam putih
dikeroyok semut.
Aku korban kekerasan guru
sejak kelas tiga SD. Masih segar di ingatan, wali kelasku, Pak Yunus, berteriak
marah, "hey, kamu! Maju ke depan kelas!" Dengan wajah menantang aku
berdiri, menghampiri beliau.
"Selesaikan soal
ini!" Lelaki empat puluh tahun itu memukul papan tulis dengan penggaris
kayu. "Salah sedikit saja, habis kamu!" Aku dengan yakin mengerjakan
soal matematika yang ia berikan.
"Sudah, Pak." Aku
berseru dengan sombong. Yakin kalau jawabanku pasti benar.
Tapi ....
Plak ...! Penggaris dengan
panjang satu meter itu mendarat di tubuh bagian belakangku. "Kamu
perempuan, tapi bengal minta ampun! Duduk!" Aku kembali ke kursi sambil
mengusap bagian yang sakit.
.
Di lain kesempatan, saat aku
kelas lima, aku di panggil wali kelas dua, guru wanita yang terkenal killer,
kejam dan suka menghukum. Namanya Bu Hernita. Matanya menakutkan, selalu
membawa rotan di tangannya.
"Indah, kamu tadi memukul
siswa kelas dua. Betul?" Aku biasanya selalu berani menghadapi guru, tapi
hari itu, aku tertunduk takut. "Jawab...!" Wanita itu berteriak
sambil memukul meja.
Aku benar-benar mati gaya
waktu itu. Darah premanku menghilang. Padahal aku sudah sering dipanggil guru,
tapi selalu selamat dari guru satu ini. Tapi kali ini, sepertinya adalah hari
sialku.
"Kemari...!"
Tanganku di tarik mendekat, "kepalkan tanganmu!" Aku menuruti, dan
tiga puluh pukulan mendarat di kepalan tangan kecilku. Menangis? Ya, aku
menangis, tentu saja, kalian boleh mencobanya, kalau tidak percaya, rasanya
sakit!
"Aku akan laporkan pada
ayahku!" Aku menangis dan berteriak, mengambil tas di kelas dan berlari
pulang.
Tiba di rumah, aku
menceritakan semuanya dengan jujur. Apa tanggapan ayahku? Dia menggandeng
tanganku, dan kembali ke sekolah. Aku tersenyum penuh kemenangan.
"Rasakan ...."
kataku dalam hati.
Tapi ... tiba di sekolah, Ayah
menghampiri Bu Hernita, dan berkata, "hukum dia lebih keras lagi, Bu,
karena dia tidak sadar apa kesalahannya." Ayah meraih penggaris dan
memukul tanganku berulang kali. Dan Bu Hernita menghentikan tindakan Ayah. "Di
sekolah, hanya kami yang boleh menghukum. Bapak boleh pulang...!" tegas Bu
Hernita.
Setelah Ayah pulang, Bu
Hernita membawaku ke lapangan. Mengumpulkan semua siswa.
"Dengar semuanya! Mulai
hari ini, Ibu tidak mau ada yang berteman dengan Indah ... kalau ada yang
berteman, akan Ibu hukum! Faham?" Tatapan Bu Hernita beralih padaku,
"dan kamu, kalau masih bersikap seperti ini. Ibu akan keluarkan kamu dari
sekolah!" Kemudian beliau berlalu begitu saja.
.
Terhitung sejak hari itu, aku
tidak memiliki satu orang teman pun. Semua teman menjauh setiap kali aku
mendekat.
Aku sudah kelas lima menuju
kelas enam waktu itu, usiaku bukan balita lagi. Aku sudah remaja, seharusnya
sikapku tak seburuk itu.
.
Sampai pada puncak yang
membuat aku terpukul lebih keras dari pukulan Bu Hernita, sore itu sepulang
sekolah aku di panggil kepala sekolah. Saat aku masuk, ada Bu Hernita di sana.
.
"Indah, nilai kamu sejak
kelas satu tidak buruk. Kelas satu sampai kelas dua, kamu selalu juara umum. Apa kamu tidak
bertanya-tanya, kenapa di kelas tiga sampai kelas lima kamu tidak juara?"
Kepala sekolah ku bernama Pak Sudirman, orangnya sangat lembut. Berbicara
dengan penuh kasih sayang, "nilai kamu masih tinggi. Bahkan lebih tinggi
dari peraih juara umum kita. Tapi perilaku kamu ini, yang membuat nilai angka
rapormu tidak ada gunanya."
Aku tertunduk, Bu Hernita mengusap kepalaku. "Kemari, dengarkan Ibu." Jujur baru sekali itu aku melihat Bu Hernita selembut kapas berbicara padaku.
.
"Kamu tahu, Ndah? Apa
yang paling berguna? Bukan angka-angka di rapor itu. Melainkan ... ini."
Tangan beliau menyentuh dadaku. Aku sudah remaja waktu itu, dan sudah sangat
memahami maksud beliau. Bagaimana rasanya? Malu! Ingin menangis, tapi tidak
bisa. Jadinya? Sesak di dada!
.
"Begini, apa Ndah mau
berubah? Karena kalau Ndah seperti ini terus, sekolah tidak
akan meluluskan." Aku melihat ke arah Bu Hernita, aku tahu beliau serius.
"Mau berubah?" Bisik
beliau pelan. Aku mengangguk. Pelan.
"Ndah janji, Ndah
berubah, Bu. Ndah janji gak nakal lagi!"
======
Sejak hari itu, aku adalah
Indah yang baru. Aku terlahir menjadi pribadi yang berbeda. Dan benar saja,
saat kelas enam, aku kembali meraih juara umum.
Aku lulus tes dengan nilai
terbaik di SMP favorit. Juga masuk dan lulus SMA dengan nilai yang masih sangat
memukau, hingga aku berhasil meraih beasiswa sampai menyelesaikan S1.
Ketika lulis SMA, aku
berkunjung kerumah Bu Hernita, menanyakan satu hal yang dulu tidak berani aku
tanyakan.
"Kenapa di rapor, meski
aku tidak juara, nilaiku masih di tulis dengan jujur?"
Beliau menjawab, "karena
itu nilai kamu. Kami tidak berhak mempermainkannya."
Bertanya-tanya apa saja
kenakalanku? Banyak teman-teman. Aku memukul adik dan kakak kelas, padahal
mereka tidak sengaja menginjak kakiku waktu antri beli makan di kantin. Aku
membuang buku PR teman sekelas yang sering mengangguku, terlebih aku ini
perempuan. Dan masih banyak lagi kenakalanku yang lain, sejak kapan? Sejak aku
kelas tiga. Luar biasa bukan? Ya, aku anak nakal yang selalu di pukul oleh
guru, nyaris setiap hari.
Akulah Indah, korban kekerasan
guru, yang berhasil meraih gelar sarjana dengan masa kuliah tiga tahun.
Akulah Indah, korban kekerasan
guru, yang setiap hari memiliki luka di bagian jari.
Apakah kedua orang tuaku
melaporkan mereka? Ooh tidak! Orang tuaku tahu, bagaimana sifat dan sikapku.
Itulah kenapa mereka akan tambah memarahiku, setiap kali aku terkena hukuman.
Akulah Indah, korban kekerasan
guru, yang sangat berterimakasih pada rotan dan penggaris kayu itu.
Namaku, Indah. Aku bahagia
guruku pernah memukul saat aku nakal.
Terimakasih, Bu Hernita, rotan
itu bukan hanya melukai tanganku. Tapi juga berhasil memukul keras batu yang
ada di hatiku.
Beliau selalu memanggilku
"Ndah" kalau aku sedang tidak bermasalah. Tapi saat aku berbuat
salah, beliau akan menyebut namaku "Indah!" Dengan sangat keras.
Aku memakai nama 'Ndah' karena
aku berterimakasih pada beliau.
=========
Bu, Pak, tahukah anda?
Hanya anda yang tahu karakter
anak-anak anda. Bagaimana bisa anda lepaskan tanggung jawab kepada gurunya di
sekolah? Tapi anda menahan hak didik bagi mereka atas anak anda.
Bu, Pak, pikirkanlah, apakah
mungkin seorang guru tiba-tiba memukul siswanya tanpa kesalahan?
Bu, Pak, mereka menggunakan
tangan untuk menjewer. Tapi mereka menghabiskan setengah hidupnya untuk
keberhasilan anak anda.
Saat anak anda menjadi dokter,
anda berkata dengan bangga, "ini anakku, menjadi dokter karena kerja
kerasku!"
Bu, Pak, pernahkah saat anak
anda pintar membaca, lantas anda berterimakasih, pada gurunya?
Saat anak anda pandai
menghitung, pernahkah berpikir untuk mendoakan gurunya?
Bu, Pak, kalian mengirim
mereka ke sekolah, karena kalian tahu, mereka butuh seorang guru. Lantas,
mengapa saat anak anda mendapat secuil cubitan, jeweran, lantas anda melaporkan
gurunya ke polisi? Memenjarakan gurunya begitu saja.
Bu, Pak, anda tahu karakter
anak anda. Pikirkanlah kenapa mereka di jewer, di cubit. Karena gurunya
menyayangi mereka, memperlakukan mereka seperti anak sendiri.
Bu, Pak, aku bukan guru, tapi
aku adalah korban kekerasan guru, dan aku bangga guruku bersikap keras
terhadapku. Karena kalau tidak, maka aku tidak akan seperti sekarang.
Bu, Pak, tidak perlu membawa
bingkisan untuk gurunya. Cukup hargai mereka, tundukkan kepala dan ingat
bagaimana peranannya untuk masa depan putra dan putri anda.
Mereka guru, dengan tulus
mendidik, tapi di rumah, anda memberi anak-anak dengan gadget, dan tontonan
televisi yang tak bermoral. Lalu, anda menyalahkan guru ketika anak anda
berperangai buruk.
Kilau emas yang anda pakai
itu, adalah hasil kerja keras penambang yang digaji tak seberapa.
Begitulah kerasnya kerja
seorang pembentuk, seperti
Itulah arti seorang guru 🙏🙏🙏
Writer : ndah Indah
agen365 menyediakan game : sbobet, ibcbet, casino, togel dll
ReplyDeleteayo segera bergabung bersama kami di agen365*com
WA : +85587781483