Hening tapi Bergemuruh
(Refleksi mingguan)
Oleh : Guru Ataya (Iwan Sumantri)
Cibadak- 20 Juli 2025
Sudah ratusan kali saya berdiri di depan guru-guru.
Kadang pakai batik, kadang pakai kemeja, bahkan pernah pakai kaos oblong karena panitia bilang, “Santai aja, Mas, ini cuma forum komunitas.” Kadang di aula mewah hotel bintang empat, kadang di ruang kelas yang kipas anginnya bersuara lebih keras dari saya. Tapi isinya sama: menyampaikan nilai-nilai. Tentang pentinhnya karakter, akhlak, adab, gotong royong, tanggung jawab, keadilan, kejujuran. Nilai-nilai yang saya peluk erat dari Gerakan Sekolah Menyenangkan, dan saya taburkan ke mana² seperti petani menabur benih, meski tak tahu nanti tumbuhnya di mana dan kapan. Saya hanya percaya aja pasti ada benih yg akan tumbuh.
Lalu beberapa hari lalu, dalam satu sesi, ada seorang guru mengangkat tangan, suaranya pelan, tapi pertanyaannya menghantam keras.
“Pak, bagaimana caranya kita terus ngajarin adab dan akhlak ke anak-anak, padahal mereka hidup di dunia yang menunjukkan sebaliknya?”
Saya terdiam. Mikrofon masih di tangan. Tapi mulut saya terkunci. Seperti tubuh saya tahu: ini bukan saatnya menjawab, tapi saatnya merenung. Bahkan saat mau menuliskan refleksi ini tak sadar bulir bening merayap perlahan di ujung mata.
Karena iya, ini bukan zaman ketika anak belajar cuma dari guru & buku. Ini zaman ketika layar 6 inci di genggaman mereka adalah jendela ke semesta, yg tak semuanya indah. Berita korupsi, kong kalikong, pemufakatan jahat, kekerasan, kebohongan, fitnah yg laris manis, ditonton berjuta-juta kali, dikomentari dengan tawa, dijadikan hiburan sampai dianggap biasa. Dan semua itu... ada di depan mata anak² kita.
Lalu anak kita, yg polos dan tulus, bertanya pada gurunya:
“Pak, kalau berlaku adil itu baik, kenapa orang yang meminta keadilan malah dikucilkan? Kenapa yang bohong malah jadi terkenal?”
Dan sepintar-pintarnya kita sebagai guru menjawab, tetap ada ruang sunyi dalam hati kita yg tak bisa menjawab apa² karena kita tahu, anak itu... benar.
Saya teringat buku “Educating for Character” karya Thomas Lickona, seorang tokoh pendidikan karakter dunia. Ia bilang: