Tuesday, November 25, 2025

Suara Hati Seorang Guru di HUT Guru Nasional 2025

Suara Hati Seorang Guru di HUT Guru Nasional 2025

Oleh: Guru Ataya (Iwan Sumantri)


Cibadak-25 November 2025. Disela-sela menjelang Upacara HUT PGRI dan Hari Guru Nasional di Kecamatan Cibadak, guru Ataya mencoba buka-buka beberapa grup WA walau sedang sakit dan tak bisa jalan. Ada salah satu Grup WA yang membuat hati dan perasaan terenyah dan menggugah untuk menyampaikan isi Grup WA tersebut di blog Guru Ataya ini yang isi tulisannya berkaitan dengan hari HUT PGRI dan Hari Guru Nasional.

Apa itu isinya, yuk kita simak guru-guru se tanah air:

KACAU BALAU KEBIJAKAN ORGANISASI PROFESI: Guru Merasa Dikhianati, PGRI Disepelekan, dan Menteri yang Kurang Literasi

Oleh: Wijaya Kusumah (Dr. Wijaya Kusumah, M.Pd) – Om Jay, Guru Blogger Indonesia

Gelombang keresahan guru kembali meninggi. Setelah munculnya sejumlah kebijakan yang melemahkan posisi guru, kini muncul lagi persoalan yang jauh lebih mendasar: pemerintah — melalui Kementerian Dikdasmen — mengirim undangan resmi kepada 77 organisasi untuk kegiatan yang disebut “Organisasi Profesi Guru”. Namun setelah dicermati, daftar itu tidak hanya janggal, tetapi benar-benar kacau balau. Di dalamnya tercampur antara organisasi profesi, komunitas belajar, MGMP/KKG, bahkan kelompok diskusi materi ajar.

Di sinilah letak masalah paling fatal: pemerintah tidak mampu membedakan apa itu organisasi profesi guru dan apa itu komunitas belajar biasa.

Saya harus tegas mengatakan:

Menurut saya, menteri kita ini kurang literasi. Tidak bisa membedakan mana organisasi profesi, mana komunitas MGMP/KKG, mana kelompok belajar bareng yang sekadar membahas bahan ajar. Kacauuuu, Om Jay!

Guru-guru di berbagai daerah pun terkejut, kecewa, dan merasa dikhianati. Pemerintah seolah ingin memecah guru ke dalam kotak-kotak kecil yang tidak jelas legitimasi dan kapasitasnya. Dan di balik semua itu, tampak jelas satu pola: PGRI dipinggirkan.

Padahal, PGRI adalah organisasi profesi terbesar, tertua, paling lengkap struktur kepengurusannya, dan paling konsisten membela guru sejak masa kolonial. Lantas, mengapa kini justru PGRI seperti disingkirkan dan digantikan oleh komunitas-komunitas tanpa kejelasan?

Guru Merasa Dikhianati

Kekecewaan ini bukan muncul tanpa sebab. Guru selama ini sudah terlalu sering menghadapi regulasi yang berubah-ubah, penempatan yang tidak adil, status PPPK yang belum stabil, dan penurunan penghargaan terhadap profesi guru.

Ketika pemerintah mengundang organisasi profesi, guru berharap forum tersebut benar-benar mempertemukan pemerintah dengan lembaga resmi yang memang memiliki kapasitas untuk berbicara tentang profesionalisme, etika, dan masa depan guru.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Undangan itu memuat organisasi yang bahkan pengurusnya sendiri tidak tahu bahwa organisasinya diundang. Ada komunitas yang hanya koordinator WA group, ada MGMP yang tugasnya pengembangan pembelajaran, bukan organisasi profesi.

Di sinilah suara guru mengeras:

“Kita merasa seperti dikhianati!”

Ini bukan sekadar soal undangan, tetapi soal kehormatan profesi yang direduksi hanya menjadi kumpulan komunitas informal.

Suara-Tajam dari Lapangan

Bukan hanya Om Jay yang merasa ada yang tidak beres. Sejumlah tokoh PGRI—guru di akar rumput—mulai bersuara keras. Salah satu suara paling cerdas dan menohok datang dari Maksimus Masan Kian, Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur.

Berikut pernyataannya yang kami masukkan utuh, karena isinya sangat penting bagi masa depan organisasi profesi guru:

Pernyataan Maksimus Masan Kian (Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur):

> “Suara-suara kritis mesti terus digaungkan.”

“Sebagai Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur, saya memandang dinamika yang muncul akhir-akhir ini sebagai sinyal penting bahwa ekosistem pendidikan kita membutuhkan kedewasaan dalam membuat kebijakan. Pemilahan organisasi secara sempit, undangan terbatas, serta munculnya tafsir-tafsir yang tidak jelas terhadap organisasi profesi justru berpotensi menurunkan kualitas dialog antara pemerintah dan guru.

PGRI adalah mitra strategis negara, bukan kompetitor yang harus ‘dikecilkan’. Karena itu, setiap kebijakan seharusnya memperkuat kolaborasi, bukan menimbulkan kecurigaan.

Sebagai pemimpin organisasi di level daerah, saya memahami keresahan para guru yang melihat adanya gejala pemecahan suara melalui pembentukan kelompok-kelompok kecil tanpa landasan profesi yang kuat. Namun kita perlu tetap tenang, jernih, dan berpikir strategis.

PGRI sejak dulu telah melewati banyak gelombang sejarah, dan setiap tekanan justru menjadikan organisasi ini semakin dewasa dan solid. Yang terpenting sekarang adalah memperkuat literasi organisasi dan literasi kebijakan di kalangan guru, sehingga kita tidak mudah dipinggirkan hanya karena salah membaca arah regulasi.

Ketegasan diperlukan, tetapi kehormatan profesi guru harus tetap terjaga.

Kita butuh alternatif solusi. Tawaran saya sederhana: bangun kembali ruang dialog yang sehat antara pemerintah dan organisasi profesi guru, khususnya PGRI sebagai rumah besar para pendidik Indonesia.

Pemerintah perlu mengakui peran strategis PGRI, dan PGRI harus terus mengedepankan profesionalisme, transparansi, dan kekuatan moral.

Jika ada regulasi yang melemahkan, mari kita ajukan rekomendasi resmi. Jika ada forum yang tidak adil, mari kita hadir dengan data, argumentasi, dan ketegasan.

Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia hanya bisa dibangun dengan kebersamaan dan penghormatan terhadap martabat guru.”

Pernyataan ini sangat dalam, elegan, tetapi tajam. Ia mengingatkan bahwa persoalan ini bukan sekadar salah kirim undangan, tetapi salah memahami ekosistem profesi guru.

Kekacauan Konsep Organisasi Profesi

Kesalahan paling mendasar yang dilakukan pemerintah dalam polemik ini adalah kebingungan membedakan jenis-jenis organisasi guru.

Mari kita perjelas:

Organisasi Profesi

Mempunyai AD/ART, struktur lengkap dari pusat hingga daerah, memiliki kode etik, memiliki fungsi advokasi, dan diakui secara hukum.

Contoh: PGRI.

MGMP/KKG

Ini bukan organisasi profesi. Ini komunitas belajar berdasarkan mata pelajaran yang fokus pada pengembangan pembelajaran.

Komunitas Belajar/Komunitas Bahan Ajar

Bersifat informal. Tidak memiliki struktur hukum, tidak dibentuk melalui AD/ART, tidak memiliki tugas advokasi profesi.

Namun, dalam undangan Kemdikdasmen, semua itu dicampur tanpa filter.

Karena itu saya tegaskan lagi:

Menteri kita kurang literasi organisasi. Tidak paham diferensiasi antara organisasi profesi dan komunitas belajar.

Itulah mengapa guru marah. Bukan karena undangan, tetapi karena penghinaan terhadap struktur formal profesi guru.

Reaksi PGRI dan Guru di Indonesia

PGRI sebagai rumah besar guru tentu tidak tinggal diam. Banyak tokoh PGRI di daerah menyatakan:

“Ini upaya mengkerdilkan organisasi profesi.”

“Ini pembelahan.”

“Ini strategi untuk melemahkan posisi tawar guru.”

“Ini sangat tidak elegan.”

Sementara para guru di sekolah bertanya:

“Mengapa kami tidak dilibatkan melalui organisasi resmi kami?”

“Mengapa komunitas kecil mendadak dianggap organisasi profesi?”

“Apakah PGRI tidak lagi dihargai negara?”

Semua ini menandakan adanya krisis kepercayaan antara guru dan pengambil kebijakan di kementerian.

Harapan dan Seruan dari Om Jay: Kembalikan Akal Sehat dalam Kebijakan

Sebagai guru, sebagai bagian dari PGRI, dan sebagai orang yang sudah puluhan tahun mengamati dunia pendidikan, saya ingin menyampaikan seruan:

1. Pemerintah harus meminta maaf kepada guru.

Jika salah konsep, akui. Jika salah kirim undangan, revisi. Jangan memaksakan kekacauan.

2. Kembalikan definisi organisasi profesi sesuai UU.

Tidak semua komunitas adalah organisasi profesi.

3. Libatkan PGRI dalam setiap kebijakan strategis tentang guru.

Bukan komunitas, bukan kelompok WA, tetapi organisasi resmi.

4. Bangun dialog yang sehat, bukan manipulatif.

Guru bukan musuh negara. Guru adalah fondasi negara.

5. Tingkatkan literasi kebijakan di kementerian.

Agar tidak terjadi lagi kekacauan konsep seperti ini.

Penutup: Guru Tidak Akan Pernah Diam

Kasus undangan organisasi profesi ini hanyalah satu dari sekian banyak persoalan pendidikan yang semakin menunjukkan bahwa pemerintah kurang memahami ekosistem guru.

Tetapi satu hal pasti:

Guru tidak akan pernah diam ketika kehormatannya diinjak-injak.

PGRI tidak akan pernah mundur dari tanggung jawab sejarahnya.

Dan suara kritis tidak akan pernah bisa dibungkam.

Selama guru masih mengajar dengan hati, selama guru masih percaya pada martabat profesinya, maka tidak ada kekuatan yang bisa memecah belah kami.

Dan seperti yang dikatakan Maksimus Masan Kian:

“Masa depan pendidikan hanya bisa dibangun dengan kebersamaan dan penghormatan terhadap martabat guru.”

Itulah pesan paling tajam hari ini.

Setajam silet.

Setegas nurani guru Indonesia.

Salam blogger persahabatan

Wijaya Kusumah - omjay

Blog https://wijayalabs.com






No comments:

Post a Comment