Suara Hati Seorang Guru di HUT Guru Nasional 2025
Oleh: Guru Ataya (Iwan Sumantri)
Apa itu isinya, yuk kita simak guru-guru se tanah air:
KACAU BALAU KEBIJAKAN
ORGANISASI PROFESI: Guru Merasa Dikhianati, PGRI Disepelekan, dan Menteri yang
Kurang Literasi
Oleh: Wijaya Kusumah (Dr.
Wijaya Kusumah, M.Pd) – Om Jay, Guru Blogger Indonesia
Gelombang keresahan guru
kembali meninggi. Setelah munculnya sejumlah kebijakan yang melemahkan posisi
guru, kini muncul lagi persoalan yang jauh lebih mendasar: pemerintah — melalui
Kementerian Dikdasmen — mengirim undangan resmi kepada 77 organisasi untuk
kegiatan yang disebut “Organisasi Profesi Guru”. Namun setelah dicermati,
daftar itu tidak hanya janggal, tetapi benar-benar kacau balau. Di dalamnya
tercampur antara organisasi profesi, komunitas belajar, MGMP/KKG, bahkan
kelompok diskusi materi ajar.
Di sinilah letak masalah
paling fatal: pemerintah tidak mampu membedakan apa itu organisasi profesi guru
dan apa itu komunitas belajar biasa.
Saya harus tegas mengatakan:
Menurut saya, menteri kita ini
kurang literasi. Tidak bisa membedakan mana organisasi profesi, mana komunitas
MGMP/KKG, mana kelompok belajar bareng yang sekadar membahas bahan ajar.
Kacauuuu, Om Jay!
Guru-guru di berbagai daerah
pun terkejut, kecewa, dan merasa dikhianati. Pemerintah seolah ingin memecah
guru ke dalam kotak-kotak kecil yang tidak jelas legitimasi dan kapasitasnya.
Dan di balik semua itu, tampak jelas satu pola: PGRI dipinggirkan.
Padahal, PGRI adalah
organisasi profesi terbesar, tertua, paling lengkap struktur kepengurusannya,
dan paling konsisten membela guru sejak masa kolonial. Lantas, mengapa kini
justru PGRI seperti disingkirkan dan digantikan oleh komunitas-komunitas tanpa kejelasan?
Guru Merasa Dikhianati
Kekecewaan ini bukan muncul
tanpa sebab. Guru selama ini sudah terlalu sering menghadapi regulasi yang
berubah-ubah, penempatan yang tidak adil, status PPPK yang belum stabil, dan
penurunan penghargaan terhadap profesi guru.
Ketika pemerintah mengundang
organisasi profesi, guru berharap forum tersebut benar-benar mempertemukan
pemerintah dengan lembaga resmi yang memang memiliki kapasitas untuk berbicara
tentang profesionalisme, etika, dan masa depan guru.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Undangan itu memuat organisasi yang bahkan pengurusnya sendiri tidak tahu bahwa organisasinya diundang. Ada komunitas yang hanya koordinator WA group, ada MGMP yang tugasnya pengembangan pembelajaran, bukan organisasi profesi.
Di sinilah suara guru
mengeras:
“Kita merasa seperti dikhianati!”
Ini bukan sekadar soal
undangan, tetapi soal kehormatan profesi yang direduksi hanya menjadi kumpulan
komunitas informal.
Suara-Tajam dari Lapangan
Bukan hanya Om Jay yang merasa
ada yang tidak beres. Sejumlah tokoh PGRI—guru di akar rumput—mulai bersuara
keras. Salah satu suara paling cerdas dan menohok datang dari Maksimus Masan
Kian, Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur.
Berikut pernyataannya yang
kami masukkan utuh, karena isinya sangat penting bagi masa depan organisasi
profesi guru:
Pernyataan Maksimus Masan Kian
(Ketua PGRI Kabupaten Flores Timur):
> “Suara-suara kritis mesti
terus digaungkan.”
“Sebagai Ketua PGRI Kabupaten
Flores Timur, saya memandang dinamika yang muncul akhir-akhir ini sebagai
sinyal penting bahwa ekosistem pendidikan kita membutuhkan kedewasaan dalam
membuat kebijakan. Pemilahan organisasi secara sempit, undangan terbatas, serta
munculnya tafsir-tafsir yang tidak jelas terhadap organisasi profesi justru
berpotensi menurunkan kualitas dialog antara pemerintah dan guru.
PGRI adalah mitra strategis
negara, bukan kompetitor yang harus ‘dikecilkan’. Karena itu, setiap kebijakan
seharusnya memperkuat kolaborasi, bukan menimbulkan kecurigaan.
Sebagai pemimpin organisasi di
level daerah, saya memahami keresahan para guru yang melihat adanya gejala
pemecahan suara melalui pembentukan kelompok-kelompok kecil tanpa landasan
profesi yang kuat. Namun kita perlu tetap tenang, jernih, dan berpikir strategis.
PGRI sejak dulu telah melewati
banyak gelombang sejarah, dan setiap tekanan justru menjadikan organisasi ini
semakin dewasa dan solid. Yang terpenting sekarang adalah memperkuat literasi
organisasi dan literasi kebijakan di kalangan guru, sehingga kita tidak mudah
dipinggirkan hanya karena salah membaca arah regulasi.
Ketegasan diperlukan, tetapi
kehormatan profesi guru harus tetap terjaga.
Kita butuh alternatif solusi.
Tawaran saya sederhana: bangun kembali ruang dialog yang sehat antara
pemerintah dan organisasi profesi guru, khususnya PGRI sebagai rumah besar para
pendidik Indonesia.
Pemerintah perlu mengakui
peran strategis PGRI, dan PGRI harus terus mengedepankan profesionalisme,
transparansi, dan kekuatan moral.
Jika ada regulasi yang
melemahkan, mari kita ajukan rekomendasi resmi. Jika ada forum yang tidak adil,
mari kita hadir dengan data, argumentasi, dan ketegasan.
Karena pada akhirnya, masa depan pendidikan Indonesia hanya bisa dibangun dengan kebersamaan dan penghormatan terhadap martabat guru.”
Pernyataan ini sangat dalam,
elegan, tetapi tajam. Ia mengingatkan bahwa persoalan ini bukan sekadar salah
kirim undangan, tetapi salah memahami ekosistem profesi guru.
Kekacauan Konsep Organisasi
Profesi
Kesalahan paling mendasar yang
dilakukan pemerintah dalam polemik ini adalah kebingungan membedakan
jenis-jenis organisasi guru.
Mari kita perjelas:
Organisasi Profesi
Mempunyai AD/ART, struktur
lengkap dari pusat hingga daerah, memiliki kode etik, memiliki fungsi advokasi,
dan diakui secara hukum.
Contoh: PGRI.
MGMP/KKG
Ini bukan organisasi profesi.
Ini komunitas belajar berdasarkan mata pelajaran yang fokus pada pengembangan
pembelajaran.
Komunitas Belajar/Komunitas
Bahan Ajar
Bersifat informal. Tidak
memiliki struktur hukum, tidak dibentuk melalui AD/ART, tidak memiliki tugas
advokasi profesi.
Namun, dalam undangan
Kemdikdasmen, semua itu dicampur tanpa filter.
Karena itu saya tegaskan lagi:
Menteri kita kurang literasi
organisasi. Tidak paham diferensiasi antara organisasi profesi dan komunitas
belajar.
Itulah mengapa guru marah.
Bukan karena undangan, tetapi karena penghinaan terhadap struktur formal
profesi guru.
Reaksi PGRI dan Guru di
Indonesia
PGRI sebagai rumah besar guru
tentu tidak tinggal diam. Banyak tokoh PGRI di daerah menyatakan:
“Ini upaya mengkerdilkan
organisasi profesi.”
“Ini pembelahan.”
“Ini strategi untuk melemahkan
posisi tawar guru.”
“Ini sangat tidak elegan.”
Sementara para guru di sekolah
bertanya:
“Mengapa kami tidak dilibatkan melalui organisasi resmi kami?”
“Mengapa komunitas kecil
mendadak dianggap organisasi profesi?”
“Apakah PGRI tidak lagi
dihargai negara?”
Semua ini menandakan adanya
krisis kepercayaan antara guru dan pengambil kebijakan di kementerian.
Harapan dan Seruan dari Om
Jay: Kembalikan Akal Sehat dalam Kebijakan
Sebagai guru, sebagai bagian
dari PGRI, dan sebagai orang yang sudah puluhan tahun mengamati dunia
pendidikan, saya ingin menyampaikan seruan:
1. Pemerintah harus meminta
maaf kepada guru.
Jika salah konsep, akui. Jika
salah kirim undangan, revisi. Jangan memaksakan kekacauan.
2. Kembalikan definisi
organisasi profesi sesuai UU.
Tidak semua komunitas adalah
organisasi profesi.
3. Libatkan PGRI dalam setiap
kebijakan strategis tentang guru.
Bukan komunitas, bukan
kelompok WA, tetapi organisasi resmi.
4. Bangun dialog yang sehat,
bukan manipulatif.
Guru bukan musuh negara. Guru
adalah fondasi negara.
5. Tingkatkan literasi
kebijakan di kementerian.
Agar tidak terjadi lagi
kekacauan konsep seperti ini.
Penutup: Guru Tidak Akan
Pernah Diam
Kasus undangan organisasi
profesi ini hanyalah satu dari sekian banyak persoalan pendidikan yang semakin
menunjukkan bahwa pemerintah kurang memahami ekosistem guru.
Tetapi satu hal pasti:
Guru tidak akan pernah diam
ketika kehormatannya diinjak-injak.
PGRI tidak akan pernah mundur
dari tanggung jawab sejarahnya.
Dan suara kritis tidak akan
pernah bisa dibungkam.
Selama guru masih mengajar
dengan hati, selama guru masih percaya pada martabat profesinya, maka tidak ada
kekuatan yang bisa memecah belah kami.
Dan seperti yang dikatakan
Maksimus Masan Kian:
“Masa depan pendidikan hanya
bisa dibangun dengan kebersamaan dan penghormatan terhadap martabat guru.”
Itulah pesan paling tajam hari
ini.
Setajam silet.
Setegas nurani guru Indonesia.
Salam blogger persahabatan
Wijaya Kusumah - omjay
Blog https://wijayalabs.com





No comments:
Post a Comment